Daun
yang jatuh tak pernah membenci angin. Sebab ia tahu, jika ia akan
memberikan manfaat kepada tanah ketika ia telah terurai. Ia menjadi
pupuk, menyuburkan tanah dan juga tanaman lain. Begitu pula lilin. Ia
rela terbakar habis, sebab sinarnya mampu menerangi sekitarnya. Hanya
saja, ketika kita merelakan untuk terluka, apakah ada manfaatnya
untuk sekitar kita?
Dulu, kita pernah dekat. Bahkan sangat dekat. Kita saling berbagi cerita. Apapun. Tiada sedetikpun kurasa bosan dan lelah. Sungguh aku bahagia pernah ada di hidupmu. Berjuang untukmu. Menyebut namamu selalu dalam do’aku. Sebab aku sangat takut kau menjauh dan meninggalkanku. Aku memohon kepadaNya agar rasa nyaman yang kau rasakan itu tak pernah berganti menjadi bosan. Walau untuk sedetikpun. Sungguh aku takut.
Apa kau ingat? Dulu, ketika kau mulai bercanda tentang hati. Aku pernah melarangmu, karena aku tak ingin menjadi terhanyut dalam candaanmu. Namun apa yang kau katakan? Kau bilang, “Ini bukan sekedar candaan. Ini adalah tentang keseriusanku. Tunggulah, aku akan datang bersama kedua orangtuaku untuk menemui kedua orangtuamu”. Sungguh, aku terlena dengan semua itu. Semua yang kau ucapkan terasa indah di telingaku.
Pada saat matahari menampakkan sinarnya, hingga semua orang telah terlelap dalam mimpinya, aku masih saja menghabiskan waktu bersamamu. Hingga larut malam. Kita larut dalam dunia maya. Media sosial bernama Line itu dengan setia menemani obrolan kita. Begitu banyak cerita yang kubagi denganmu. Dan akupun mulai mengenal bagaimana keluargamu dan semakin mengenalmu. Membuat aku semakin......berharap kepadamu.
Hingga pada suatu ketika, kau mengajakku ke sebuah Mall, hanya berdua saja. Ntah berapa banyak uang yang telah kau habiskan hanya untuk hari itu. Hanya untuk bersamaku. Mulai dari membeli buku, makan, hingga menonton film berdua. Nyaman. Hanya itu yang kurasakan. Saat itu, ketika matamu hanya tertuju pada layar bioskop, aku melirikmu. Sungguh, aku tak percaya kau ada di sampingku. Begitu dekat denganku. Lama aku menatap wajahmu yang tertutupi gelapnya ruangan itu. Seketika itu juga matamu melihatku, kupalingkan mataku kembali ke layar bioskop. “Tuhan, aku menyayanginya.”rintih hatiku.
Aku begitu percaya bahwa kau takkan pergi dariku. Karena rasa nyaman yang kau rasakan padaku saat itu. Seperti yang pernah kau katakan, “Cinta atau sayang bisa saja berawal dari rasa nyaman”. Dan itulah yang membuatku tak menyadari, membuatku menutup dan
bahkan membuang seribu satu hal yang akan mampu membuatmu pergi dariku. Aku lupa tentang siapa aku dan siapa dirimu?
Semua kata-kata indahmu membuatku terhanyut, aku ceritakan semuanya kepada Sang Maha membolak-balikkan hati manusia. Kusebut namamu dalam do’aku. Selalu. Hingga disepertiga malamku.
“Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepadaNya.”(Imam Syafi’i)
Mungkin Dia telah lelah mendengarku selalu menyebut namamu. Nama yang mungkin tak tertulis di Lauhul mahfuzku. Hingga Ia menjauhkanmu dariku. Sikapmu mulai berubah. Tak semanis sebelum itu. Kau semakin menjauh. Hingga aku kehilanganmu. Ya, ini semua salahku. Karena kekuranganku membuat rasa nyaman itu menjadi rasa bosan. Seketika semuanya berubah. Jujur, aku merindukanmu.
Kujalani hari-hariku seperti biasanya. Tiada seharipun aku lewatkan tanpa memikirkanmu, tanpa merindukanmu. Aku begitu sangat mengharapkanmu. Perih. Ketika mengenang semua itu. Bahkan apapun yang terjadi seakan selalu mengingatkanku padamu. Bagaimana mungkin aku bisa dengan mudah melupakan tentangmu? Setelah semua yang terjadi. Setelah semua yang kita lalui berdua.
Sejak itu, ada beberapa sosok yang datang untuk mencoba mengetuk pintu hatiku. Pintu hati ini tetap tertutup. Karena kau telah membawa kuncinya dan pergi begitu saja. Aku tak mampu untuk keluar ataupun membukakan pintu untuk orang lain. Aku hanya bisa melihatmu dari balik jendelaku. Melihat kau tersenyum bahkan tertawa bersama teman-temanmu. Sungguh aku rindu akan senyuman dan tawa itu. Yang berasal dariku. Aku merintih. Sekali lagi. “Aku benar-benar merindukannya, Tuhan.”
Jika aku bisa. Hanya saja, aku tak ada hak untuk meminta penjelasan darimu. Untuk menagih janji-janjimu. Untuk memintamu kembali. Atau hanya sekedar menanyakan keadaanmu. Bagaimana mungkin kau dengan mudah melupakan semua itu?
Kisahku memang bukan hanya ada tentangmu. Ada begitu banyak hal yang harus kulalui. Ada atau tidaknya kau di hidupku, hidupku haruslah tetap berjalan seperti yang digariskan olehNya. Darimu, aku belajar ikhlas. Ikhlas bahwa tidak semua hal yang kita inginkan bisa selalu kita dapatkan. Itulah takdirNya. Ya. Benar jika kita bisa merubah takdir. Hanya saja, merubah nama yang telah tertuliskan di Lauhul mahfuz itu tidaklah pernah bisa.
Jodoh. Setiap manusia pasti memilikinya. Allah telah pastikan
hal
itu. Tetapi, ntah ia masih ada di peredaran bumi ini atau ia telah
berada disisiNya. Hanya Ia yang tahu. Bagaimana mungkin aku bisa tahu
bahwa kau adalah jodohku ataukah bukan? Sedangkan kau telah berada
jauh dariku. Mungkinkah kau akan kembali? Seperti yang banyak
dikatakan orang-orang bijak, “Sejauh apapun dia, jika dia adalah
jodoh kita, dia tetap akan kembali dan menjadi milik kita”.
Bumi
tak pernah lelah memutari sang matahari. Meski ia hanya mendapatkan
terik panasnya. Karena ia tahu, bahwa ada begitu banyak makhluk hidup
yang membutuhkan sinar itu. Lalu aku berpikir. Sanggupkah aku menahan
sakit ini hanya demi melihatmu bahagia?
“Ketika bunga tak bermekar lagi dan dunia tak mungkin berputar lagi. Saat cinta tlah membakar hati ini, kau kan tahu betapa aku MENCINTAIMU.”
Begitu
dalamnya aku terjatuh. Karena harapan yang kuukir sendiri. Harapan
yang kau berikan. Ntah kau sengaja ataupun tidak. Yang lalu kau
abaikan. Dan pergi tanpa alasan. Hanya saja, kini aku telah ikhlas
melepasmu. Menjalani hari-hariku sendiri dengan selalu mengabaikanmu,
meski aku masih sering melihatmu di sekitarku. Bukanlah karena aku
tak memiliki sikap profesionalitas, aku hanya mengurangi waktuku agar
tak habis olehmu lagi. Ya. Aku benar-benar telah melupakan semua itu.
Aku
bahagia. Aku bisa membebaskan hati ini dari jeratanmu. Bahkan meski
kau datang menemuiku dan meminta agar kita bisa kembali dekat seperti
dahulu, aku takkan membiarkanmu dengan mudah melakukan hal yang sama
lagi. Tetapi sungguh, aku berharap suatu hari nanti kau mampu
menjelaskan semua ini.
Bukan,
aku tidaklah sedang menyimpan dendam. Tidak. Aku hanya mencoba
menguatkan hatiku. Sungguh aku yakin, akan ada cinta yang
sebenar-benarnya. Yang dengan ikhlas menerima segala kekuranganku.
Dan melengkapinya dengan kelebihannya. Ntah memang benar bahwa nama
yang telah tertuliskan di Lauhul Mahfuzku itu bukanlah namamu, atau
jika memang itu adalah namamu, mungkin saja Tuhan sedang mengujiku
untuk tidak mendahului takdirku, atau juga karena cara kita yang
salah. Lalu Ia akan mempertemukan kita kembali. Aku tidak tahu.
Benci?
Tidak juga. Aku tidak membenci atas sakit yang aku terima darimu.
Sungguh.
Tapi
satu hal yang pasti. Aku dapat mengambil hikmah dari semua ini. Bahwa
cinta bukanlah hanya soal kenyamanan. Namun, ketika kita mengenal
seseorang dan merasa yakin dialah masa depan kita. Lalu meskipun kita
saling mengetahui kekurangan masing-masing, kita tetap mengabaikannya
dan tetap berkata “Aku mencintainya”. Bagiku itulah cinta yang
sebenarnya. Cinta yang tak memandang dari segi kekurangan. Cinta yang
hanya berlandaskan iman. Iman kepada Allah swt. Cinta yang hakiki.
Hanya
saja, aku masih terlalu dini untuk mengetahui siapakah dia. Jodohku.
Jawaban dari setiap doa-doaku. Tuhan, aku menunggunya. Seorang anak
Adam yang dengan gagah berani menghadap kepada ayahku untuk meminta
izinnya. Mengakui kepadaMu dan juga kedua orangtuaku, bahwa ia
mencintaiku karenaMu.
"Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik (pula)”.(Q.S An-Nur : 26)
Ya Allah, izinkan aku untuk memperbaiki diriku dahulu. Dan semoga saja diapun sedang memperbaiki dirinya sebelum menjemputku nanti. Kuatkan aku, bimbing aku agar tetap istiqomah di jalanMu. Hanya kepadaMulah aku memohon dan meminta pertolonganMu, Ya Rabb. Engkaulah Sang Maha membolak-balikkan hati. Sungguh, jangan tinggalkan aku walau satu milidetikpun, ya Allah.
~Jazakallah
khairan~
0 comments:
Post a Comment